Mitra sebagai Sesama dan Mitra Kerja
Dalam
tataran tertentu kehidupan ini merupakan suatu kompetisi. Tapi toh tidak semua adalah kompetisi. Tentu
saja kalau saya menulis “KOMPETISI” harus dibaca sebagai berlomba menjadi yang
terbaik dan tidak saling mengalahkan. Bersama-sama menjadi yang terbaik.
Ada
saatnya kehidupan ini adalah suatu gotong royong. Kerjabakti. Komunio. Berbela
rasa. Saling menerima satu sama lain. Bukankah begitu? Ketiadaan batas yang
jelas kapan kita melakukan antara kompetisi dan gotong royong membuat kehidupan
kita serba salah. Dan karena serba salah maka kadang kehidupan ini
membingungkan. Ah Mosok?
Tentu
dalam kehidupan sosial kita mestinya memiliki belarasa, tetapi dalam kompetisi
kadang belarasa porsinya lebih sedikit. Bayangkan jika anda bisa lari cepat
sementara teman-teman anda lambat. Dan anda harus menunggunya? Apa yang akan
terjadi?
Bayangkan
jika waktu yang dibutuhkan untuk menyelamatkan diri hanya 2 menit sedangkan
anda bisa mencapainya dalam 1,5 menit. Tetapi karena harus menunggu yang
membutuhkan waktu penyelamatan 3 menit maka anda juga harus menjadi korban. Dan
dengan demikian tidak lagi bisa berbuat banyak. Tinggalah penyesalan andai
masih bisa menyesal.
So what
? Bagaimana kehidupan ini harus dijalankan. Maka harus ada distingsi jelas
kapan kita berlaku berkompetisi. Kapan saatnya kita berlaku bergotong royong? Atau
bisakah keduanya berjalan bersama?
Dalam
sebuah perusahaan jika para pekerja susah di ajak “berlari” sedangkan kita mau “berlari”
dan bisa, maka perusahaan hanya akan berjalan ditempat. Apalagi jumlah pekerja
yang tidak bisa “lari” dalam perusahaan itu melebihi jumlah yang bisa lari.
Jika demikian apakah kita masih harus mempertahankan berbela rasa dengan orang
yang tidak bisa diajak “berlari”? Apakah pilihannya kita tinggal? Persoalan
muncul manakala kita tinggal. Teman-teman anda akan menghakimi anda sebagai
orang yang tidak memiliki perasaan. Sebaliknya jika kita mentolerir hal-hal
yang menghambat kemajuan demi menunggu yang sulit diajak lari akibatnya korps
kita yang ketinggalan kereta. Namun anda akan dicap sebagai orang yang punya
hati dan perasaan halus.
Tentu
menjadi sebuah keputusan yang agak sulit di ambil. Membutuhkan nyali besar
untuk meninggalkan yang tidak bisa lari cepat. Apalagi di era digital. Di
sinilah persoalannya. Antara mengasihi dengan profesionalitas. Menuruti salah
satu akan mengorbankan yang lain. Mengikuti tuntutan profesionalitas akan
mengabaikan penerimaan akan yang lain. Dalam arti, demi profesionalitas kita
tidak bisa mempertahankan mengasihi orang-orang dalam mitra kerja namun tidak
bisa profesional. Atau sebaliknya demi
mengasihi sesama lantas kita tetap mempertahankan orang-orang sekitar yang
tidak profesional sebagai mitra kerja. SUSAH KAN?
So
what? Tentu kita harus mengasihi tetapi
juga harus profesional dalam kerja. Maka Rasanya perlu membedakan antara
profesionalitas kerja dengan mengasihi sesama. Tentu akan sangat mudah bagi
kita membuat keputusan jika berhadapan dengan orang-orang sekitar dalam mitra
kerja yang profesional dalam etos kerja.
Anda
boleh tidak setuju dengan pemikiran saya. Bahwa mengasihi semua orang adalah
hal utama dan keutamaan. Menerima siapa saja dalam kehidupan ini adalah ajaran
iman yang harus diwujudkan. Namun bisa saja kita menerima sesama kita dalam hal
sebagai mitra kerja tanpa harus menunggu mereka bisa di ajak “lari” seperti
kita. Jika memang membuat sebuah company stagnan maka putusan yang paling tepat
mungkin tinggal saja. Karena hanya akan menjadi beban. Tanpa harus
menyingkirkan dalam hubungan sosial. Namun apakah hal ini mudah? Tentu tidak.
So, pilihan tersedia, keputusan ada di kita masing-masing.